Author Archives: Muh. Quraisy Mathar

Antara Kampus dan Perpus

Perpustakaan merupakan salah satu simbol peradaban sebuah negeri. Berdirinya kampus Bait al-Hikmah, ditandai dengan kemegahan perpustakaan umum Bait al-Hikmah yang sekaligus menjadi simbol peradaban emas dinasti Abbasiyah. Perpustakaan Academia yang menjadi tempat berkumpul para filsuf dan sastrawan menjadi simbol peradaban emas Yunani kuno. Perpustakaan Biblioteca Alexandria menjadi simbol peradaban emas bangsa Mesir kuno. Lalu kampus-kampus dan pun bermunculan pasca revolusi industri di seluruh dunia dan menjadi simbol peradaban emas di masing-masing negeri tempat berdirinya kampus-kampus tersebut. Seluruh peradaban kampus dari zaman ke zaman, ditandai dengan keberadaan perpustakaan di dalamnya.

Perpustakaan sangat sangat berpengaruh terhadap perdaban sebuah kampus beserta peradaban lokal di sekitarnya. Sebut saja, Perpustakaan Harvard University membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di Cambridge dan Boston Amerika, Perpustakaan University of Oxford membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di Wellington Inggris, Perpustakaan al-Azhar University membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di Kairo Mesir, Universitas Antar Bangsa membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di Gombak Malaysia, Perpustakaan Universitas Indonesia membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di Depok, UIN Syarif Hidayatullah membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di Ciputat Jakarta, atau Universitas Hasanuddin membentuk peradaban civitas dan masyarakat lokal di wilayah Tamalanrea Makassar. Tentu tak cukup ruang untuk menuliskan satu demi satu perpustakaan-perpustakaan yang sangat berkontribusi terhadap peradaban di sekitarnya. Walaupun, tak cukup ruang juga untuk menuliskan nama-nama kampus yang tidak berkontribusi terhadap peradaban masyarakat di sekitarnya. Kampus inilah yang saat ini sangat familiar kita sebut sebagai kampus abal-abal. Salah satu penyebabnya adalah kampus jenis ini biasanya tak memiliki perpustakaan atau kurang peduli terhadap perpustakaan.

Kampus berperadaban adalah kampus yang berperpustakaan, bukan kampus yang hanya menjadi menara gading dan sibuk mengurus kegiatan akademik internalnya saja. Sebetulnya agak menggelikan melihat sebuah kampus yang sudah melaksanakan KKN ke luar negeri, memiliki desa binaan, rutin melakukan studi banding, intens berseminar tentang services learning, namun tidak punya kepekaan terhadap kemajuan perpustakaannya sendiri. Kampus jenis ini biasanya ditandai dengan kondisi masyarakat di sekeliling kampus yang justru hidup amburadul. Kampus seperti ini sebetulnya memang tidak layak untuk disebut sebagai kampus, sebab kegiatannya selalu berorientasi output (nilai), bukan proses. Kampus abal-abal contohnya, selalu berorientasi pintar dengan output nilai IPK yang selalu ditinggikan, nilai akreditasi yang ditinggikan, nilai apa saja ditinggikan, agar kesannya menjadi kampus yang pintar. Kampus seharusnya berorientasi kecerdasan, bukan kepintaran. Jika kampus memiliki Fakultas Pendidikan, maka tak boleh ada anak putus sekolah apalagi buta huruf di sekitar kampus. Jika kampus memiliki Fakultas Hukum, maka tak boleh ada persoalan hukum yang pelik, baik di dalam maupun untuk masyarakat di sekitarnya. Jika kampus memiliki Fakultas Ekonomi, tak boleh ada persoalan keuangan, baik internal maupun eksternal di sekitarnya. Jika kampus memiliki berbagai Fakultas dan Jurusan, namun tidak berkontribusi terhadap perbaikan yang berhubungan dengan kompetensi masing-masing Fakultas dan Jurusan tersebut, maka bisa dipastikan bahwa kampus tersebut pasti bukan kampus peradaban. Seluruh hubungan kampus dan masyarakat itu bermuara dan dimulai dari pengelolaanperpustakaan secara baik dan benar.

Tak sedikit kampus justru berkontribusi negatif terhadap munculnya berbagai persoalan lokal. Beberapa kampus bahkan memberi contoh dan mencitrakan hal-hal buruk bagi masyarakat di sekitarnya. Kampus yang hadir belakangan justru mengikis kearifan lokal dan menggantinya dengan budaya hedonis. Sebelum ada kampus, kejahatan terbesar di sebuah lokal hanyalah kasus pencurian. Namun setelah ada kampus, masyarakat mulai belajar tentang tawuran, demo anarkis, korupsi, atau berdandan ala musisi heavy metal. Kampus seperti ini bukan lagi kampus abal-abal, namun sudah menjelma menjadi kampus mampus. Sangat jauh dari simbol peradaban. Sudah pasti juga, kampus jenis ini tentulah kampus yang tidak berperpustakaan atau tidak menjadikan perpustakaannya sebagai prioritas yang harus dikelola.

Mari bermain onomatope, menyesuaikan bunyi dan makna. Kampus, mampus, infus, hangus, ingus, rakus, kakus, tikus, bulus, fulus, kurus, putus, dan hapus. Ternyata hampir seluruh kata berakhiran “us” memang berkonotasi negatif, dan kampus pun menjadi bagian dari kelompok kata negatif tersebut. Kampus ternyata harus membuktikan bahwa keberadaannya dalam kelompok kata bermakna negatif adalah untuk memperbaiki kenegatifan itu semua. Kampus tak boleh mampus, tak boleh diinfus, tak boleh hangus, tak boleh beringus, tak boleh rakus, tak boleh bercorak kakus, bukan menjadi sarang tikus, tak boleh dipenuhi civitas berakal bulus yang hanya berorientasi fulus, dan kampus tak boleh kurus dengan ide, semangat dan kerja untuk peradaban apalagi sampai izin operasionalnya putus dan dihapus. Kampus seharusnya memang bergabung dalam kelompok kecil onomatope lain yang berkonotasi positif, seperti bagus, halus, tulus, dan lulus. Kampus memang harus tampil paling bagus, halus dalam segala bentuk strategi dan pendekatannya, tulus dalam seluruh niat dan aktifitasnya, agar seluruh mahasiswanya lulus sebagai alumni yang cerdas, tidak hanya sebatas pintar, seperti para alumni kampus mampus yang jauh dari peradaban.

Lalu bagaimana dengan perpustakaan yang sering disingkat “perpus” oleh para civitas akademika? Apakah perpus juga harus bergabung dengan kelompok kata onomatope negatif seperti mampus, tikus dan infus? Tentu tidak, sebab perpustakaan bukan perpus. Dia berasal dari kata pustaka yang kurang lebih bermakna dokumen tercetak. Pustaka seharusnya bergabung dengan kelompok onomatope kata; belaka, celaka, dan petaka. Wah, ternyata kelompoknya pun bermakna negatif. Mungkin yang paling tepat adalah menyandingkan kata pustaka dan jenaka dalam utak-atik onomatope. Perpustakaan memang harus tampil jenaka, menghibur, memberi pelayanan prima, terdepan dan selalu trendi, sebab peradaban yang sesungguhnya dimulai dari perpustakaan.